Transisi Dari Sekolah Ke Dunia Kerja
Pada dasarnya transisi dari sekolah ke dunia kerja (transition from
school to work) merupakan suatu kondisi dimana seorang lulusan dari
sekolah tertentu (termasuk SMK) perlu mempersiapkan diri untuk
memasuki lingkungan kerja. Dalam konteks ini perlu ada pengintegrasian
para lulusan sekolah secara sosial dan profesional ke dalam dunia kerja
dan kemampuan mereka untuk beradaptasi dalam lingkungan kerja
tersebut. Penyiapan lulusan / calon tenaga kerja tersebut diarahkan
terutama untuk meningkatkan kecakapan hidup dan pembinaan
profesionalisme serta kompetensi vocational sebagai bekal untuk
memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Penyiapan tenaga kerja tersebut
akan sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia dan
perkembangan IPTEKS yang mengiringinya.
Masyarakat Indonesia sekarang ini sedang berada dalam masa transisi
dari masyarakat agraris atau masyarakat pra-industri (pre-industrial
society) menuju kepada terciptanya masyarakat industri (industrial
society), serta perubahan ke arah era globalisasi / era informasi. .
Masa transisi ini tertandai dengan semakin banyaknya sektor pekerjaan
yang memerlukan keterampilan vokasional secara spesifik, yaitu
keterampilan yang di dalamnya mengandung kecakapan teknologi tertentu.
Sesuai konsep pengembangan pendidikan kejuruan umumnya dan SMK pada
khususnya, yaitu menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan
vokasional tertentu, maka sebenarnya kehadiran SMK dalam masa transisi
tersebut justru semakin diperlukan. Dalam bahasa yang sederhana,
kehadiran SMK sekarang ini justru semakin didambakan masyarakat;
utamanya masyarakat yang berkecimpung langsung dalam dunia kerja. Dengan
catatan, bahwa lulusan pendidikan kejuruan memang mempunyai
kualifikasi sebagai (calon) tenaga kerja yang memiliki keterampilan
vokasional tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.
Seperti diketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini
perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang
di hari kemarin masih dianggap modern ( sunrise teohnology ) bukan tak
mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology). Teknologl
komputer misalnya; beberapa tahun lalu orang memakai komputer yang
fisiknya besar dan sulit dipindahtempatkan manakala diperlukan.
Selanjutnya orang memilih komputer portabel yang mudah dipindah ke
mana-mana; dan hari ini orang memilih komputer dompet yang dapat dibawa
ke mana-mana. Dari sisi perangkat lunak pun begitu pula; beberapa
waktu lalu orang menggunakan program WS-2000 untuk keperluan tulis
menulis, kemudian pindah ke WS-4, pindah lagi ke WS-6, sebelum akhirnya
ke WS-7. Sekarang bahkan banyak orang yang tidak mau lagi memakai
Program WS karena ada teknologi baru yang dianggap lebih sophisticated.
Oleh karena perkembangan teknologi, yang berimplikasi pada pembekalan
keterampilan vokasional kepada siswa SMK, itu berjalan dengan cepat
maka ada beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang
harus diperhatikan. Adapun beberapa prinsip yang dimaksud antara lain :
1. Pendidikan kejuruan harus dapat dilaksanakan secepat mungkin (education in short).
2. Pendidikan kejuruan dalam pengembangannya harus berorientasi
kepada jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan di lapangan (orientation).
3. Pendidikan kejuruan diatur sedemikian rupa supaya siswa dapat
keluar dan masuk lembaga pendidikan secara mudah (free entry exit).
4. Apapun yang dilakukan pendidikan kejuruan harus disesuaikan dengan
permintaan pasar (demand driven), bukan pasar yang harus menyesuaikan
pendidikan kejuruan.
5. Pengembangan pendidikan kejuruan harus terbuka atas terjadinya
interaksi antar disiplin ilmu serta disiplin teknologi (cross
discipline).
6. Pendidikan kejuruan haruslah berani mengembangkan teknologi yang sedang dan akan berkembang (forward technology) .
Keenam prinsip penyelenggaraan pendidikan kejuruan tersebut tidak
sepenuhnya dapat dipenuhi di dalam kasus pengembangan SMK di Indonesia
sekarang ini. Mengenai pelaksanaan pendidikan kejuruan yang harus
secepat mungkin misalnya; karena pelaksanaan SMK di Indonesia terpaku
pada struktur kurikulum yang kaku maka proses penyelesaian pendidikan
itu baru dapat dilaksanakan setelah siswa menyelesaikan kurikulum. Oleh
karena pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia sudah diikat
dengan peraturan yang mengelompokkan sekolah itu sendiri menjadi
kelompok-kelompok yang terpisah, misalnya saja Kelompok Teknologi dan
Industri (TI) terpisah dengan Kelompok Bisnis dan Manajemen (BM),
Kelompok Pariwisata (PW) terpisah dengan Kelompok Seni dan Kerajinan
(SK), dan sebagainya, maka disiplin ilmu dan teknologi yang berkembang
pada masing-masing kelompok tidak dapat saling berinteraksi. Padahal,
disiplin ilmu dan teknologi TI memerlukan interaksi dengan BM, PW dengan
SK, dan lainnya. Di dalam hal ini prinsip "cross discipline" tidak
berjalan sama sekali dan yang menggulir di lapangan justru prinsip
"school box" yang membatasi kelompok-kelompok sekolah dalam kotak-kotak
yang sulit ditembus dari luar.
Tidak terpenuhinya secara penuh prinsip penyelenggaraan pendidikan
kejuruan seperti itulah yang menyebabkan SMK di Indonesia yang baru
saja "naik daun" mulai kehilangan pamornya. SMK di Indonesia memang
sempat "naik daun" pada beberapa tahun yang lalu sehingga proporsinya
sempat menunjukkan kenaikan secara signifikan. SMK di Indonesia sempat
menjadi isu publik, meskipun pengertian publik di sini sangat terbatas
pada kalangan orang tua dan praktisi pendidikan kejuruan khususnya dan
praktisi pendidikan menengah pada umumnya. Sekarang isu tersebut mulai
menghilang; banyak orang tua siswa dan praktisi pendidikan yang lupa
pada eksistensi SMK serta gaung kerja sama di antara lembaga pendidikan
dengan dunia kerja pun mulai bersuara lirih.
Minggu, 23 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar disini: