twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Social Icons

Pages

Minggu, 23 Februari 2014

Keterkaitan PTK dengan Usaha dan Industri

Transisi Dari Sekolah Ke Dunia Kerja
Pada dasarnya transisi dari sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) merupakan suatu kondisi dimana seorang lulusan dari sekolah tertentu (termasuk SMK) perlu mempersiapkan diri untuk memasuki lingkungan kerja. Dalam konteks ini perlu ada pengintegrasian para lulusan sekolah secara sosial dan profesional ke dalam dunia kerja dan kemampuan mereka untuk beradaptasi dalam lingkungan kerja tersebut. Penyiapan lulusan / calon tenaga kerja tersebut diarahkan terutama untuk meningkatkan kecakapan hidup dan pembinaan profesionalisme serta kompetensi vocational sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Penyiapan tenaga kerja tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia dan perkembangan IPTEKS yang mengiringinya.
Masyarakat Indonesia sekarang ini sedang berada dalam masa transisi dari masyarakat agraris atau masyarakat pra-industri (pre-industrial society) menuju kepada terciptanya masyarakat industri (industrial society), serta perubahan ke arah era globalisasi / era informasi. . Masa transisi ini tertandai dengan semakin banyaknya sektor pekerjaan yang memerlukan keterampilan vokasional secara spesifik, yaitu keterampilan yang di dalamnya mengandung kecakapan teknologi tertentu. Sesuai konsep pengembangan pendidikan kejuruan umumnya dan SMK pada khususnya, yaitu menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan vokasional tertentu, maka sebenarnya kehadiran SMK dalam masa transisi tersebut justru semakin diperlukan. Dalam bahasa yang sederhana, kehadiran SMK sekarang ini justru semakin didambakan masyarakat; utamanya masyarakat yang berkecimpung langsung dalam dunia kerja. Dengan catatan, bahwa lulusan pendidikan kejuruan memang mempunyai kualifikasi sebagai (calon) tenaga kerja yang memiliki keterampilan vokasional tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.
Seperti diketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang di hari kemarin masih dianggap modern ( sunrise teohnology ) bukan tak mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology). Teknologl komputer misalnya; beberapa tahun lalu orang memakai komputer yang fisiknya besar dan sulit dipindahtempatkan manakala diperlukan. Selanjutnya orang memilih komputer portabel yang mudah dipindah ke mana-mana; dan hari ini orang memilih komputer dompet yang dapat dibawa ke mana-mana. Dari sisi perangkat lunak pun begitu pula; beberapa waktu lalu orang menggunakan program WS-2000 untuk keperluan tulis menulis, kemudian pindah ke WS-4, pindah lagi ke WS-6, sebelum akhirnya ke WS-7. Sekarang bahkan banyak orang yang tidak mau lagi memakai Program WS karena ada teknologi baru yang dianggap lebih sophisticated.
Oleh karena perkembangan teknologi, yang berimplikasi pada pembekalan keterampilan vokasional kepada siswa SMK, itu berjalan dengan cepat maka ada beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang harus diperhatikan. Adapun beberapa prinsip yang dimaksud antara lain :
1. Pendidikan kejuruan harus dapat dilaksanakan secepat mungkin (education in short).
2. Pendidikan kejuruan dalam pengembangannya harus berorientasi kepada jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan di lapangan (orientation).
3. Pendidikan kejuruan diatur sedemikian rupa supaya siswa dapat keluar dan masuk lembaga pendidikan secara mudah (free entry exit).
4. Apapun yang dilakukan pendidikan kejuruan harus disesuaikan dengan permintaan pasar (demand driven), bukan pasar yang harus menyesuaikan pendidikan kejuruan.
5. Pengembangan pendidikan kejuruan harus terbuka atas terjadinya interaksi antar disiplin ilmu serta disiplin teknologi (cross discipline).
6. Pendidikan kejuruan haruslah berani mengembangkan teknologi yang sedang dan akan berkembang (forward technology) .
Keenam prinsip penyelenggaraan pendidikan kejuruan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipenuhi di dalam kasus pengembangan SMK di Indonesia sekarang ini. Mengenai pelaksanaan pendidikan kejuruan yang harus secepat mungkin misalnya; karena pelaksanaan SMK di Indonesia terpaku pada struktur kurikulum yang kaku maka proses penyelesaian pendidikan itu baru dapat dilaksanakan setelah siswa menyelesaikan kurikulum. Oleh karena pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia sudah diikat dengan peraturan yang mengelompokkan sekolah itu sendiri menjadi kelompok-kelompok yang terpisah, misalnya saja Kelompok Teknologi dan Industri (TI) terpisah dengan Kelompok Bisnis dan Manajemen (BM), Kelompok Pariwisata (PW) terpisah dengan Kelompok Seni dan Kerajinan (SK), dan sebagainya, maka disiplin ilmu dan teknologi yang berkembang pada masing-masing kelompok tidak dapat saling berinteraksi. Padahal, disiplin ilmu dan teknologi TI memerlukan interaksi dengan BM, PW dengan SK, dan lainnya. Di dalam hal ini prinsip "cross discipline" tidak berjalan sama sekali dan yang menggulir di lapangan justru prinsip "school box" yang membatasi kelompok-kelompok sekolah dalam kotak-kotak yang sulit ditembus dari luar.
Tidak terpenuhinya secara penuh prinsip penyelenggaraan pendidikan kejuruan seperti itulah yang menyebabkan SMK di Indonesia yang baru saja "naik daun" mulai kehilangan pamornya. SMK di Indonesia memang sempat "naik daun" pada beberapa tahun yang lalu sehingga proporsinya sempat menunjukkan kenaikan secara signifikan. SMK di Indonesia sempat menjadi isu publik, meskipun pengertian publik di sini sangat terbatas pada kalangan orang tua dan praktisi pendidikan kejuruan khususnya dan praktisi pendidikan menengah pada umumnya. Sekarang isu tersebut mulai menghilang; banyak orang tua siswa dan praktisi pendidikan yang lupa pada eksistensi SMK serta gaung kerja sama di antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja pun mulai bersuara lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar disini: